Sabtu, 02 Juli 2016

16 Tahun Lalu itu...

Malam itu selepas maghrib saya dikagetkan dengan panggilan keras ibu kost, rupanya bapak yang menelepon dari Cilacap.
"Kamu harus pulang besok pagi ke Cilacap" begitu kata bapak tanpa basa-basi mengagetkan saya.
"Kenapa?" tanyaku
"Pokoknya kamu harus pulang secepatnya" sahutnya singkat.
"Tapi besok masih ada urusan di kampus"
"Ada yang lebih penting dari itu"
"Baiklah, saya akan pulang tapi setelah selesai urusanya,dan itu berarti sore hari." tawarku dan bapak menyetujuinya. 

Malam itu adalah malam Sabtu dan saya diharuskan paling lambat malam Minggu sudah sampai di Cilacap. Dan esoknya urusan selesai  jam setengah lima sore. Perjalanan Solo-Cilacap adalah 7 jam dengan naikbus, satu-satunya kereta ke Cilacap jadwalnya jam setengah 3 sore, itu  artinya satu-satunya pilihan adalah naik bus. Jadi setelah urusan kampus selesai sayah harus cepat-cepat pulang kalau tidak ingin terlambat sampai Cilacap.

Dalam perjalanan pulang malam itu di dalam bus saya tak bisa tidur, gelisah. Obrolan bersama Agung teman satu kost yang kuminta menemani perjalanan saya pun tak mampu menepis kegelisahan. Jawaban bapak yang mengatakan ada yang lebih penting dari urusan di kampus malah menimbulkan lebih banyak pertanyaan di kepala, ada apa?

Sampai Cilacap sekira jam 12 malam, agak terlambat sebab bus mengalami pecah ban di Purworejo. Sebelum menuju rumah masing-masing, seperti biasa kami memilih mencari pengganjal perut. Kali ini Soto Sokaraja pilihannya, kebetulan masih buka jam segitu. Tidak enak seperti biasanya mungkin banyaknya psertanyaan di kepala yang menghilangkan selera makan.
Selesai makan saya memilih ojek untuk mengantar pulang setelah sebelumnya membatalkan rencana  untuk menginap di tempat Agung terlebih dahulu seperti biasanya kalo kami pulang bersama,  tentu saja untuk diantar gratis pagi harinya, lumayan menghemat uang. Sayah ingin cepat-cepat menuju rumah, rasa penasaran menuntunku untuk pulang segera.

Sampai di rumah mungkin jam 1-an, ternyata memang sudah di tunggu tidak hanya oleh keluargku tapi juga beberapa saudara sepupu berada di sana. Setelah uluk salam dan bersalaman aku pun langsung duduk di kursi bersama mereka. Hampir bersamaan adik laki-lakiku langsung mengangsuskan baju batik dan sepatu baru untuk di coba, sambil mengatakan, 

"Mas besok pagi njenengan nikah.!"

Akupun langsung tertunduk sambil menangkupkan kedua tangan ke wajahku, setelahnya memandang bapak, Ibu dan saudara-saudaraku semua, sattu persatu, dan kulihat anggukan kecil di sana. Oh, ini memang sudah ku duga sebelumnya tapi dalam pikiranku bukan besok waktunya. Saya sudah menduga sebelumya sebab seorang gadis yang sudah sayah lamar beberapa bulan sebelumnya, ayahnya sakit keras dan beberapa kali sayapun ikut menunggui ketika opname di Jogja dan satu-satunya keinginannya kalau tidak diberi umur panjang adalah menikahkan satu-satunya anak gadisnya sebagai kewajiban untuk  menjadi wali nikah. Saya sudah menduganya tapi untuk nikah besok? Tidak terbesit dalam pikiran saya sama sekali.

"Iya, siap" jawabku setelah diam beberapa saat.

Malam itu, saya nggak bisa tidur. Membayangkan peristiwa besar besok dan sesekali menghafal akad nikah. Paginya saya harus menyiapkan pakian untuk akad yang dijadwalkan pukul 10 pagi. Akhirnya dapat setelan jas pinjaman dari kakak sepupu setelah sebelumnya ke rias penganten untuk menyewa tapi tidak ada yang cocok.

Lantai empat di gedung Rumah Sakit Pertamina Cilacap, keluar dari lift menuju lorong di sisi selatan tempat Bapak mertua saya di rawat. Ku lihat saudara-saudara saya dan calon istri saya sudah memenuhi lorong rumah sakit,  duduk di lantai beralaskan tikar. Semua terdiam dalam pandangan menuju pasangan calon pengantin, dalam kesederhaan ala kadarnya di akad nikah kami pagi itu. Syukur Alhamdulilah acara akad nikah berlangsung lancar, meski harus mengulang satu kali karena perasaan yang campur aduk kala itu. Tak ada tawa bahagia setelah akad itu, yang ada hanya tangis bahagia, uacapan selamat yang mengalir dari saudara-saudaraku semuanya pun diiringi dengan tangis, tapi saya yakin itu adalah tangis bahagia....

Enam belas tahun lalu masih terasa lekat dalam ingatan, menyimpanya dan baru kali ini saya bisa menuliskanya, biasanya selalu terhenti karena air mata yang mehalangi...



Untuk istriku tercinta  I always love you...menualah bersamaku. 

Anseong,  2 Juli 2016

Rabu, 06 April 2016

Cinta Sunyi

Suatu waktu sekira jam 11 malam di sekitar Malioboro Jogjakarta, seorang pria terhenyak ketika seseorang yang dianggapnya guru mengajaknya keluar malam itu. Dengan berjalan kaki dia mengikuti saja gurunya itu dari belakang. Sepanjang perjalanan tidak sepatah katapun keluar dari mulut gurunya itu.  Meski tidak tahu tempat yang di tuju, terus saja  dia mengikuti langkah kaki gurunya, pun tidak menanyakan kemana tujuannya malam itu. Setelah berapa lama, rupanya yang dituju adalah sebuah warung wedangan di sekitar terminal yang dulu masih di THR Gondomanan.

Setelah mendapatkan tempat duduk dan memesan minuman, keduanya asyik menikmati rokok sambil sesekali menikmati teh, masih tidak ada kata yang keluar dari keduanya. Dan terus saja begitu yang dilakukan, merokok, minum, merokok, minum, merokok lagi, minum lagi, merokok lagi, minum lagi. Dalam sunyi adegan merokok minum itu dilakukan sampai jam 4 pagi -edan tenan!. Sampai akhirnya  di jam 4 pagi itu gurunya memecah kesunyian.

"Em, coba lihat bisnya sudah lewat belum?'

"Lho bis apa mas?" Dia menjawab dengan pertanyaan.

"Bis Agung, yang dari Malang. Sudah lewat belum?"

Rupanya tujuan gurunya malam itu adalah menunggu datangnya bis malam Agung Anugrah Jurusan Malang -Jogja yang tiba pukul 4 pagi itu. Gurunya sendiri tetap di dalam warung tidak mau melihat sendiri bis itu. Lalu apa sebabnya menunggu bis sampai jam 4 pagi? Soalnya gurunya itu mencintai seorang perempuan asal Malang yang sedang kuliah di Jogja. Jadi dia hanya membayangkan kekasihnya dalam batin yang bukan kekasih nyata itu turun dari bis Agung yang datang pukul empat itu padahal nyatanya tidak. Dia sendiri tidak berani menatap langsung kekasih batinya itu apalagi menyatakan cintanya. Bagi dia cinta yang suci itu menjadi batal jika diterapkan. Dia hormati cintanya begitu rupa sehingga tidak akan menyentuh cintanya, supaya tidak najis cintanya itu.
Satu kisah dari beberapa kisah menarik dari kehidupan Umbu Landu Paranggi seperti yang diceritakan oleh sang murid Emha Ainun Nadjib.

Sekira 25 tahun yang lalu kisah yang hampir sama tentang cinta yang sunyi itu pernah juga sayah alami, tapi kisah sayah tidak seekstrim kisah Umbu.
Kisah ini bermula saat saya SMP atau mungkin lebih awal dari itu, ceritanya sayah tertarik seorang perempuan yang kebetulan masih tetangga saya, teman masa kecil, teman bermanin dan mengaji di sebuah musholla yang sama. Rasa tertarik yang perlahan berubah menjadi cinta, anehnya perasaan cinta itu malah membuat sayah menjauh darinya, ada perasaan malu yang tiba-tiba muncul saat bertemu dengannya. Sayah selalu menghindari saat ada dia di setiap arena permainan atau saat sekedar kumpul dengan teman-teman sepermainan. Pun saat mengaji sayah selalu menghindari berpapasan dengannya. Lalu bagaimana cinta akan bersambut saat tidak ada saling bertemu?

Sayah nekad berkirim surat, hanya bermodalkan keyakinan saja saat itu. Satu tatapan mata saja saat tak sengaja bertemu muka, cukup untuk meyakinkan sayah membuat surat cinta pertama sebab buat mereka yang dibakar api cinta, kata-kata tidak mempunyai makna. Dan gayung pun bersambut. Singkatnya kita tetap berkomunikasi lewat surat tapi masih tetep tanpa pernah saling bicara, dan kalo bertemu pun tanpa saling sapa. Menyapa lewat surat dan kemudian bergumul dengan imajinasi masing-masing. Kami benar-benar berpacaran setelah 8 tahun kemudian saat sama-sama sudah kuliah di Jogja, dan 3 tahun kemudian kami menikah.

Cinta memang terkadang sulit untuk dimengerti dan seringkali cinta bergerak lembut dalam kesunyian, menghanyutkan hati siapa saja yang dilalui.

Selamat Ulang Tahun Enam Aprilku, Istriku tercinta, Ibu dari anak-anakku, terima kasih telah mendampingiku sampai hari ini...Love You 언쟤가지나사랑햬.....