Sabtu, 30 Juli 2016

Moral Pohon Jambu

Di depan rumah ada sebuah pohon Jambu, yang tumbuh di halaman dari sisa tanah kira2 1,5 meter dari rumah ke jalan yang  tidak berpagar. Belum terlalu besar tetapi berbuah rutin setiap musim buah tiba. Ibu sayah pernah mengatakan kalau hasil dari panenan satu buah pohon Jambu itu ternyata bisa untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan. Pesan moral yang pertama, kalau mau taat pajak tanamlah minimal satu pohon jambu saja.

Semua nampak normal saja hingga suatu ketika negara medsos menyerang...eh. Jadi ada beberapa anak yang dengan sukarela membantu memetik & menghabiskan Jambu itu, masalahnya mereka itu tidak meminta ijin terlebih dahulu. Hebatnya meski sudah kepergok dan ditegur mereka tetep aja tak acuh, cuma memandang sebentar kemudian lanjut lagi memetik lagi.

"Turun nggak???" tereak sayah kesel.

Akhirnya mereka pun turun tapi gak kemana2 cuma berdiri di bawah pohon saja sambil masih memandangi sayah...hadeeh. Baiklah, waktu kecil sayah juga pernah begitu, memetik buah tetangga tanpa ijin tapi denger pintu tuan rumah berderit saja sudah lari kaya setan. Tapi ini? hadeeh.... nggak ada takut2nya sama sekali. Tarik napas dalam2...

"Nih, lain kali kalo pengin jambu ngomong dulu sama yang punya, dah sana bubar..."

Misteri dari mana "keberanian" anak2 itu datang terpecahkan sudah ketika seorang bapak sedang menunggu foto kopi di depan rumah sayah. Sambil menunggu dengan seorang anak balitanya. Dia nyebrang jalan sambil menggendong anaknya dan dengan santainya memetik jambu itu. Dan di waktu lain saat seorang ibu yang menggedong anaknya saat mengantri di Puskesmas pembantu yang kebetulan mengontrak di salah satu ruang rumah saya, juga melakukan hal sama. Mendidik anak yang paling efektif itu bukan dengan omongan tapi dengan contoh perilaku. See..kedua orangtua itu dengan sempurna telah mendidik anaknya tanpa dia sadari dan terekam sempurna pula dalam memori si anak.

Di lain hari, rombongan anak2 yang kemarin "membantu itu datang lagi, kali ini mereka datang dengan sopan meminta ijin meminta Jambu. Setelah di ijinkan, menyerbulah mereka berebut menaiki pohon jambu. Setelah berapa lama sayah pun menengok mereka yang tak kunjung turun. Ternyata oh ternyata mereka memborong semua jambu yang tersisa. Tidak satu dua jambu yang mereka petik tapi tiga kantong kresek yang mereka bawa penuh dengan Jambu...duh gusti paringana sabar.

Pesan moral yang kedua adalah jangan pernah nanem pohon Jambu di depan rumah, banyak setannya.

Jumat, 22 Juli 2016

Poligamer

Dulu saat pernah ngekost waktu kuliah di Solo, ada seorang yang selalu rutin mengisi khotbah Jum'at tiap bulannya. Lelaki dengan perawakan tinggi besar ini selalu berapi-api saat mengisi khotbah. Kebetulan saat itu lagi panas-panasnya perang sipil di Ambon sana. Setiap khotbah selalu mengompori anak muda untuk berangkat jihad ke Ambon. Khotbah yang berapi-api itu ditanggapi dengan menikmati kantuk para jamaahnya yang sesekali ditimpali dengan menguap dengan suara keras. he..he...Orang-orang bilang dia jarkoni (isa ngajar ora nglakoni), beberapa bulan rutin ngmpori jihad tapi dia sendiri nggak pernah berangkat.

Ada sisi menarik dengan beliau ini yang oleh orang-orang dihubungkan dengan jarkoni tadi. Ternyata beliau ini punya istri tiga. Hebatnya lagi tiga2nya semuanya bekerja, ada yang pegawai, satunya guru dan seorang lagi Dokter gigi.  "Pantesan nggak berangkat2 ke Ambon" begitu kata orang2

Saat tinggal di Jogja, saya punya seorang kawan anak dari seorang Kyai pengasuh pondok pesantren di Rembang sana. Kawan ini sedang melanjutkan kuliah S2 di UGM. Menariknya, bapaknya dan semua kakak laki2nya yang telah menikah memiliki istri lebih dari satu. 

"Waah..kowe mesti mengko yo tiru bapak karo masmu, bojone okeh...ngono ta?" ledekku

"Asem ik, akeh piye...siji wae aku yo durung tau nduwe pacar kok"  


Saya kagum sama orang-orang yang bisa berpoligami, tentu lebih kompleks masalanya dibanding yang monogami. Tapi saya lebih sangat-sangat mengagumi mereka-mereka yang tetap setia dengan satu pasangan mereka, setia dengan setiap kekurangan pasangannya untuk kemudian saling melengkapinya. 

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian...... (Annisa,129)

Selasa, 05 Juli 2016

Mudik Lebaran

Dulu saya kira mudik hanya tradisi di Indonesia saja, ternyata setelah di Korea tradisi mudik pun ada. Hari Raya Cheusok namanya, mirip di Indonesia biasanya sebelum hari H, mereka ziarah dan bersih-bersih makam di  kuburan. Lalu satu hari sebelum hari H mereka ramai-ramai mudik, persis di Indonesia macet di mana-mana. 

Saya pernah ngalamin terjebak macet ini, waktu berkunjung ke tempat temen di Dangjin. Waktu di jalan tol sih lancar jaya meski jalanan macet tapi lajur khusus bus yang biasanya ditandai dengan garis biru tetep kosong. Mungkin ini bisa di contoh di Indonesia, pengelola tol wajib menyediakan jalur bus jadi nantnya yang naik bus tidak ikut terjebak macet.

Di Indonesia malah saya belum pernah merasakan indahnya mudik. Dimana mau mudik rumah mertua saja cuma berjarak 2 km. Dan punya rumah bikinnya persis di sebelah rumah orang tua. Pas masih tinggal di Jogja pun, jauh-jauh hari Istri dan anak2 sudah dipulangkan duluan. Mungkin ini yang dinamakan Manajemen Mudik apa yah..he.he.. Jadi mudik nyaman itu direncanakan  jauh-jauh hari, dengan mencari jodoh orang dekat saja dan bikin rumah pun di sebelah orang tua..ha..ha..

Lalu kapan sebenarnya tradisi mudik ini dimulai? dan kenapa cuma di Indonesia saja yang ada? Saya kira ini seperti nasihat orang dulu yang di kemas dengan simbol-simbol khas orang Jawa. Nasihat yang tidak menggurui. Kita tahu setelah melaksanakan puasa satu bulan penuh maka tibalah Idul Fitri, kembali suci atau kembali seperti bayi yang tidak punya dosa. Mudik berasal dari kata Udik, yang merupakan asal kita, diman anilai-nilai kebaikan masih terpelihara dengan baik. Jadi kembalilah ke asalmu yang baik itu. Maka di sarankanlah memakai baju yang baru di hari itu, baju yang jelek-jelek jangan dipakai. jadi pertanyaanya sudahkah kita mudik yang benar-baner sejatinya mudik?

Selamat mudik dan Selamat Aidil Fitri bagi yang merayakan.....










Sabtu, 02 Juli 2016

16 Tahun Lalu itu...

Malam itu selepas maghrib saya dikagetkan dengan panggilan keras ibu kost, rupanya bapak yang menelepon dari Cilacap.
"Kamu harus pulang besok pagi ke Cilacap" begitu kata bapak tanpa basa-basi mengagetkan saya.
"Kenapa?" tanyaku
"Pokoknya kamu harus pulang secepatnya" sahutnya singkat.
"Tapi besok masih ada urusan di kampus"
"Ada yang lebih penting dari itu"
"Baiklah, saya akan pulang tapi setelah selesai urusanya,dan itu berarti sore hari." tawarku dan bapak menyetujuinya. 

Malam itu adalah malam Sabtu dan saya diharuskan paling lambat malam Minggu sudah sampai di Cilacap. Dan esoknya urusan selesai  jam setengah lima sore. Perjalanan Solo-Cilacap adalah 7 jam dengan naikbus, satu-satunya kereta ke Cilacap jadwalnya jam setengah 3 sore, itu  artinya satu-satunya pilihan adalah naik bus. Jadi setelah urusan kampus selesai sayah harus cepat-cepat pulang kalau tidak ingin terlambat sampai Cilacap.

Dalam perjalanan pulang malam itu di dalam bus saya tak bisa tidur, gelisah. Obrolan bersama Agung teman satu kost yang kuminta menemani perjalanan saya pun tak mampu menepis kegelisahan. Jawaban bapak yang mengatakan ada yang lebih penting dari urusan di kampus malah menimbulkan lebih banyak pertanyaan di kepala, ada apa?

Sampai Cilacap sekira jam 12 malam, agak terlambat sebab bus mengalami pecah ban di Purworejo. Sebelum menuju rumah masing-masing, seperti biasa kami memilih mencari pengganjal perut. Kali ini Soto Sokaraja pilihannya, kebetulan masih buka jam segitu. Tidak enak seperti biasanya mungkin banyaknya psertanyaan di kepala yang menghilangkan selera makan.
Selesai makan saya memilih ojek untuk mengantar pulang setelah sebelumnya membatalkan rencana  untuk menginap di tempat Agung terlebih dahulu seperti biasanya kalo kami pulang bersama,  tentu saja untuk diantar gratis pagi harinya, lumayan menghemat uang. Sayah ingin cepat-cepat menuju rumah, rasa penasaran menuntunku untuk pulang segera.

Sampai di rumah mungkin jam 1-an, ternyata memang sudah di tunggu tidak hanya oleh keluargku tapi juga beberapa saudara sepupu berada di sana. Setelah uluk salam dan bersalaman aku pun langsung duduk di kursi bersama mereka. Hampir bersamaan adik laki-lakiku langsung mengangsuskan baju batik dan sepatu baru untuk di coba, sambil mengatakan, 

"Mas besok pagi njenengan nikah.!"

Akupun langsung tertunduk sambil menangkupkan kedua tangan ke wajahku, setelahnya memandang bapak, Ibu dan saudara-saudaraku semua, sattu persatu, dan kulihat anggukan kecil di sana. Oh, ini memang sudah ku duga sebelumnya tapi dalam pikiranku bukan besok waktunya. Saya sudah menduga sebelumya sebab seorang gadis yang sudah sayah lamar beberapa bulan sebelumnya, ayahnya sakit keras dan beberapa kali sayapun ikut menunggui ketika opname di Jogja dan satu-satunya keinginannya kalau tidak diberi umur panjang adalah menikahkan satu-satunya anak gadisnya sebagai kewajiban untuk  menjadi wali nikah. Saya sudah menduganya tapi untuk nikah besok? Tidak terbesit dalam pikiran saya sama sekali.

"Iya, siap" jawabku setelah diam beberapa saat.

Malam itu, saya nggak bisa tidur. Membayangkan peristiwa besar besok dan sesekali menghafal akad nikah. Paginya saya harus menyiapkan pakian untuk akad yang dijadwalkan pukul 10 pagi. Akhirnya dapat setelan jas pinjaman dari kakak sepupu setelah sebelumnya ke rias penganten untuk menyewa tapi tidak ada yang cocok.

Lantai empat di gedung Rumah Sakit Pertamina Cilacap, keluar dari lift menuju lorong di sisi selatan tempat Bapak mertua saya di rawat. Ku lihat saudara-saudara saya dan calon istri saya sudah memenuhi lorong rumah sakit,  duduk di lantai beralaskan tikar. Semua terdiam dalam pandangan menuju pasangan calon pengantin, dalam kesederhaan ala kadarnya di akad nikah kami pagi itu. Syukur Alhamdulilah acara akad nikah berlangsung lancar, meski harus mengulang satu kali karena perasaan yang campur aduk kala itu. Tak ada tawa bahagia setelah akad itu, yang ada hanya tangis bahagia, uacapan selamat yang mengalir dari saudara-saudaraku semuanya pun diiringi dengan tangis, tapi saya yakin itu adalah tangis bahagia....

Enam belas tahun lalu masih terasa lekat dalam ingatan, menyimpanya dan baru kali ini saya bisa menuliskanya, biasanya selalu terhenti karena air mata yang mehalangi...



Untuk istriku tercinta  I always love you...menualah bersamaku. 

Anseong,  2 Juli 2016